Contoh yang diberikan adalah tentang Microsoft, di dekade 2000-an, yang berusaha keras membuat music player yang lebih baik secara teknis dan estetika dibandingkan dengan iPod-nya Apple. Microsoft berhasil membuat Zune, yang dalam segala hal lebih baik daripada iPod. Tapi pada saat yang sama, Apple lebih peka terhadap tren teknologi dan pasar dan segera meluncurkan iPhone yang membuat baik Zune maupun iPod tidak relevan lagi. Microsoft bertanding dalam arena “Finite Game” akan tetapi Apple tahu bahwa arena pertandingannya sebenarnya jauh lebih luas lagi.

Di bidang kefarmasian, tidak ada jalan pintas untuk “menang”. Riset untuk menghasilkan produk baru bisa menghabiskan waktu satu dekade atau lebih. Biaya produksi dan distribusi juga besar dan waktu pengurusannya lama.

Bisnis farmasi retail juga bukan bisnis yang bisa langsung untung dalam semalam, jatuh bangun dalam mengelola apotek itu sudah biasa. Semakin lama apotek beroperasi, semakin dalam juga pemahaman mengenai karakter pelanggan di sekitar apotek. Walaupun analisis atas keunggulan dan kelemahan “kompetitor” (di buku disebut dengan istilah “Worthy Rival”) tetap perlu dilakukan, tapi pengelola apotek jangan sampai menjadi terobsesi. Harga mereka bisa 20% lebih murah? Cari tahu mereka beli dari distributor mana. Ada kemungkinan barang murah itu memang hampir ED, tidak bisa di-retur, atau bahkan tidak jelas asal-usulnya. Usaha apotek yang dikelola dengan mindset “infinite” dan punya misi yang fokus (kalau di buku, disebut dengan istilah “Just Cause”) akan tahu persis strategi bisnis mana yang akan langgeng dan mana yang tidak langgeng.

Masa-masa ini adalah masa yang menantang untuk kebanyakan apotek karena menurunnya daya beli masyarakat dan perubahan aturan perizinan. Walaupun demikian, tidak ada alasan untuk berpaling dari mindset “infinite game” yang kamu miliki.